Puisi : Delusi Lara El & Syah Karya Aip Orlandio
Hai El, apa kabar?
Aku menulis surat ini kala sabit menghiasi langit malam. Berteman lagu Ruang Rindu milik Letto, beberapa lembar kertas biru, dengan segelas kopi jahe kesukaanmu tanpa makanan penutup apapun. Bersama semua itu aku mengingat beberapa bait tentang kita.
Barangkali yang kutulis ini adalah apa yang telah kau tahu dariku. Barangkali pula itu sesuatu yang bosan kau dengar. Tapi akan tetap aku katakan, sebab rasanya jika tidak aku tuliskan maka aku tak cukup mampu menjelaskan mengapa dua lembar kertas ini sampai padamu.
El, terima kasih pernah membuatku merasa dicintai. Aku tak pernah memiliki perasaan semenyenangkan itu seumur hidup sebelum kita bertemu. Aku menjadi mengerti mengapa banyak orang yang menanggalkan akal sehatnya demi perasaan itu —karena tak peduli bagaimana dunia melihatmu, saat ada satu orang yang memelukmu ketika hidup sedang hancur-hancurnya, maka semua akan terasa baik-baik saja.
Maka, terima kasih untuk hadirmu kala malam kelam itu, di saat hidupku sedang hancur-hancurnya.
El, saat kau baca ini, aku sudah melewati banyak tahap untuk tetap membiarkanmu hidup di hatiku. Aku tak membiarkan siapapun mengetuknya dan menyingkirkan setiap nama yang mencoba menyusup dalam ruang hatiku. Aku ingin mencintaimu tanpa dibatasi ruang dan waktu, karena rasanya tak ada yang berhak mendapatkan cintaku melebihi kau.
Tapi El, benarlah kata orang, yang abadi adalah perubahan. Maka izinkan aku sampaikan ingkar, karena berlabuh pada rumah yang membuatku rela tenggelam tanpa pegangan; bukan dirimu.
El, kau benar perihal cinta. Cinta bukanlah tentang siapa yang mencintai siapa, tapi tentang siapa yang rela memberikan cinta itu kepada siapa. Aku tak mengerti kerelaan itu saat kau membicarakannya dengan tatapan penuh sekaligus layu saat itu, namun ketika di satu waktu seseorang mengambil alih duniaku, aku kehilangan kesempatan bahkan untuk sekedar mengatakan aku belum bersedia.
Aku mengerti, kita terlalu penuh perhitungan dulu, dan cinta tak miliki nilai absolutnya sehingga cinta yang kita bagi hanya sebatas untung dan rugi. Kau memberikanku banyak keuntungan itu, tapi tak kulihat wajahmu bersinar dengan apa yang aku beri. Meski terlambat aku sadari, seberapa besar pun aku menciptakan ilusi untuk memberikan cinta itu sepenuh hati, aku gagal memberikan segala rasa selayaknya kau memberi. Maaf untuk itu.
Hari ini, saat aku menulis namamu di kertas biru itu, aku telah menjadi seseorang yang memahami cinta itu dari kedua sisi, yang mencintai dan dicintai.
El, kupikir dulu aku hanya akan jatuh hati pada lelaki sepertimu, dan kupikir itu terjadi di saat kehancuranku pula. Ternyata aku menemukannya saat duniaku sedang terang benderang, aku sedang baik-baiknya. Sehingga hal pertama yang kami bagi adalah tawa, hingga debar itu menjadi nyata bahkan saat kami berbagi tangisan.
Aku menerimanya bukan karena ia satu-satunya yang membuatku merasa dicintai, bukan karena dia yang aku butuhkan dan bukan karena dia selalu bersedia ada. Tapi karena aku, aku ingin dia untuk seluruh hidupku, tak lebih dan tak kurang.
Dia lebih dari cukup. Dia tak membuatku banyak bertanya hingga tak ada sedikitpun ragu. Meski berulang kali aku mencari celah, menyingkirkannya dengan segala kurangnya, tapi aku selalu sampai pada titik pemahaman; harus dia maka aku rela.
Mungkin kisah ini nanti akan panjang, maka untuk sekarang sekian dulu. Datanglah jika luang El, aku menunggumu.
Sehat selalu, akan selalu ada tempat dihatiku atas namamu. Lelaki bermata sayu yang memelukku saat dunia hancur lebur. Aku menyayangimu El, seperti malam kepada fajar yang membiarkannya bertemu langit biru.
//
Surat dari Syahila kepada El Farabi dalam Novel "Delusi Lara El & Syah" Chapter 36.
Karya: Aip Orlandio