Puisi : Keiklasan Karya Aip Orlandio
Puan...
Kau lestari dalam anganku, terpatri dalam seluk beluk urat nadiku, menggerutu merdu dalam pusara logikaku, menyeruak indah pada titian frasa intuisiku, tertawa syahdu diambang batas niscayaku. Kubiarkan kau berbaring tenang disana, kuabadikan tentangmu sebagai pijar bintang berpangku sukma.
Puan...
Jika cinta ini lautan hina, akankah kau bumi dengan samuderanya? Jika kau biru segara, apakah bagimu cintaku ini merupa bencana? Sejauh gurat yang kubaca, tintamu tetaplah gemercak rancu yang menghujamiku dengan rangkaian tanya tanpa susunan aksara. Sejauh hati ini merasa, megamu merundung angkasa bercampur mendung dan badai. Sedang aku langit dengan pasak rapuh yang dengan lancangnya mencoba mendekapmu penuh.
Kau terluka, dan aku lumpuh...
Sebab itulah aku pergi, tapi lubuk hati terdalamku tak pernah sedikitpun membencimu. Kau tetaplah rangkaian bunga yang melingkari pergelangan lenganku. Namun kini ia merupa ungkapan kasih yang sudah tak mampu kuemban lagi hanya dengan sebatas sabar. Ia merupa sajak-sajak kecemburuan, senandung bait-bait keikhlasan, deburan ombak tanpa teguran yang kelak kan menghantam. Ia bara api yang takut kedinginan tuk membakar, dan larik puisi yang dengan pengilhaman tidak untuk diprosakan.
Puan...
Aku mencintaimu dengan penuh ketakutan dan sadar. Namun jika mencintaimu dalam kediamanku membuatmu merasakan arti kedamaian, maka biarkan aku mewakilkan angin untuk membelai wajahmu dari kejauhan. Jika setulus juangku kau anggap tak lebih dari debu jalanan, biarkan aku menjadi hamparan angan yang bahkan tak tampak dalam harapan, hingga kemudian hilang.
Orang-orang kan berlalu lalang, tapi kau akan tetap terpatri dalam ingatan, mengalun indah pada tiap melodi memori yang terlinimasakan. Sebab cinta itu rumit, karenanya kepala ini merunduk kikuk. Maka puan, jika kepergianku ialah senja yang mampu untuk kau nikmati jingganya, biarkan aku terbenam dalam sore yang menunggu malam memadam. Bahkan bila mencintaimu bermaknakan untuk mengajariku penyesalan, maka biarkan aku menyesal dalam keabadian.
Puan...
Sebab aku merasa, menjadi mentarimu terlalu lancang bagiku. Siapalah aku ini. Sungguh tak layak bagiku menggerutu, memintamu mengorbit bintang katai merah tua renta yang tak tahu malu. Cahayaku terlalu redup untuk sekedar menghangatkan dinginmu. Gemerlap keberanianku telah terhisap kegelapan lubang hitam yang kau ramu.
Sejauh kata terucap, nafasmu pun masihlah hembusan keyakinan yang kuanggap tabu. Sepelik inikah berdamai dengan masa lalu?. Rasanya ingin kuingkari saja kenyataan bahwa kau disana, terbakar lalu lebur mengabu. Sesulit inikah mengubur sajak-sajak cinta yang pernah tumbuh sepenuh untukmu?. Rasanya ingin kubungkam saja seluruh pujangga dengan segala omong kosongnya perihal cinta dan rindu.
Puan..
Kini larik puisi kehidupanku telah runtuh. Bagai reremahan pecahan kaca yang basah menggunung, sedang kau di dalamnya, diam termangu tanpa ada sedikitpun keinginan mencipta lagi percikan getaran hati yang telah terbunuh.
Larik itu sudah tak indah lagi, bahkan sejak dari dulu kau tahu itu kan?. Ia telah gugur, bak dedaunan yang kalah dengan musim, kesusahan mempertahankan asupan klorofil yang tersalur. Selepas pergimu, kini ia mulai menguning, dan waktu kan menghukumnya hingga kering.
Meski aku kembali, binar matamu pun telah berbeda, sebab kini bagimu ada-ku hanyalah pupuk kompos yang menyuburkan kelopak bunga egomu. Namun bagaimanapun juga aku telah puas, sebab telah mengerti bahwa aku bukanlah lebah yang kau mau.
Untukmu yang takkan kembali,
kututup kisah ini dengan bab keikhlasan
dengan berat hati kuucapkan; selamat jalan...
Kudoakan segala tentangmu selalu berpayungkan kebahagiaan.
[ Bab Keikhlasan : Hal 38 - Dalam Buku "Metafor" | Karya: Aip Orlandio]