Puisi : Lelah Yang Berdiam Di Pelupuk Jiwa Karya Hawa
"Lelah yang Berdiam di Pelupuk Jiwa"
Lelah ini menari di garis mataku,
Seperti kabut yang enggan pergi dari bukit,
Menjelma bayang-bayang yang menguntit langkah,
Menghapus terang dari setiap pagi,
Mengusik damai di sela napas,
Aku berjalan, tapi rasa ini tak pernah selesai.
Ada luka yang tumbuh tanpa suara,
Serupa duri yang sembunyi di kelopak mawar,
Ia menusuk, perlahan namun pasti,
Menyisakan perih yang tak dapat kujelaskan,
Seperti angin membawa debu ke mata,
Sederhana, namun mengalirkan air yang tak bertepi.
hidup, mengapa kau begitu getir?
Kau melukis langit dengan warna kelabu,
Menggantungkan mimpi di awan yang rapuh,
Lalu menjatuhkannya seperti hujan yang kasar,
Aku mencari pelangi di celah badai,
Namun yang kutemukan hanya petir yang menyala.
Aku adalah perahu kecil di tengah samudra,
Diterjang gelombang yang enggan berhenti,
Layarku compang-camping, dayungku patah,
Hanya ada doa yang tergores di bibir pecah,
Namun kadang Tuhan pun terasa diam,
Meninggalkan aku dalam sunyi yang bergaung.
Setiap langkah terasa seperti mendaki puncak,
Namun puncaknya terus menjauh dariku,
Di bawah kakiku, jurang menganga lebar,
Mengintai setiap goyah yang kutempuh,
Aku terjebak di antara ingin menyerah,
Dan harapan yang terus memudar seperti senja.
Air mata telah menjadi teman setia,
Menemani malam yang enggan berakhir,
Mereka berbicara tanpa kata,
Mengalirkan cerita yang tak mampu kuucapkan,
Tentang hati yang retak oleh beban dunia,
Tentang jiwa yang haus akan pelukan damai.
Kepada siapa lagi aku bersandar?
Jika pundakku sendiri telah terlalu lemah,
Bahu yang dulu kokoh kini ringkih,
Menanggung beban yang tak pernah berhenti bertambah,
Seperti pohon yang terus dipangkas daunnya,
Hingga ia tak lagi punya tempat berlindung.
Dunia, mengapa kau begitu kejam?
Menghujam jiwa dengan panah kepalsuan,
Mencuri mimpi dengan tangan tak terlihat,
Meninggalkan hati dengan lubang yang tak tertutup,
Kau membuatku bertanya, untuk apa semua ini?
Mengapa aku harus bertahan dalam rasa hampa?
Aku ingin berteriak, namun suara ini hilang,
Tenggelam dalam bisu yang memenjarakan,
Aku ingin berlari, namun kakiku terikat,
Dipenjarakan oleh rantai kegagalan,
Aku ingin menyerah, namun entah mengapa,
Ada sesuatu yang menahanku di ambang gelap.
Adakah cahaya di ujung lorong ini?
Adakah tangan yang akan meraihku?
Aku lelah menjadi api yang terus padam,
Aku ingin menjadi debu yang terbawa angin,
Menghilang dari segala kegetiran,
Dan menemukan kedamaian di tempat yang tak bernama.
Tuhan, jika Engkau mendengarku,
Mengapa kesunyian ini begitu bising?
Mengapa jalan ini terasa tanpa akhir?
Aku adalah hamba yang hampir kehilangan arah,
Namun masih menggenggam nama-Mu di dada,
Meski terasa berat, aku tak ingin melepaskan.
Ajari aku cara menghadapi badai,
Berikan aku sayap untuk terbang di atasnya,
Atau setidaknya, kuatkan kakiku,
Agar aku tetap berjalan meski dalam gelap,
Bawa aku mendekat pada-Mu,
Agar aku tak lagi merasa sendiri dalam dunia yang asing.
Aku tak meminta hidup yang sempurna,
Hanya hati yang mampu menanggung luka,
Hanya jiwa yang mampu tetap percaya,
Bahwa setelah malam yang panjang,
Akan ada fajar yang membawa harapan,
Meski sinarnya samar di balik awan.
Hidup, aku tidak membencimu,
Namun aku juga tak tahu cara mencintaimu,
Kau begitu rumit, begitu penuh teka-teki,
Namun di balik kerumitan ini,
Mungkin ada makna yang belum kupahami,
Yang hanya bisa ditemukan di akhir perjalanan ini.
Dan meski aku lelah, aku masih di sini,
Berjalan tertatih di atas jalan berbatu,
Menyulam doa dari setiap luka,
Karena aku tahu, pada akhirnya,
Hidup ini hanyalah persinggahan,
Dan aku hanyalah seorang musafir yang mencari rumah.
Coreta hawa,
Bandung, 2023.