Puisi : Sepucuk Surat Merah Jambu Karya Aip Orlandio (Member Hago Literasi Puisi)
*SEPUCUK SURAT MERAH JAMBU*
Suratmu telah kuterima, walau aksaramu tak kumengerti. Berkali-kali kau mengirimiku lembar demi lembar surat yang kauselipkan di lubang jendelaku— yang menganga belum sempat diperbaiki.
Senin, suratmu kembali ke pelukanku. Kau menggambar beberapa hal yang sangsi dimataku: meteor, sungai yang sudah gersang tak ada jejak-jejak air yang tergenang, tanah-tanah tandus bagai tak ada jiwa yang hidup tenteram.
Kau tak pernah tampak, namun terasa dekat.
Hari itu Rabu tanggal 21. Ada suara gerungan mesin yang tak kuketahui di mana tepatnya. Mengerang sebegitu kencangnya. Mengundang seluruh warga bertanya, "Apakah itu?"
Suratmu kembali ke dalam tautan jemariku. Kali ini aku bertanya, apalagi yang akan kaubagi. Guratan gambar-gambar unik lagi?
Aku salah. Tertuang sudah huruf-huruf yang terbaca,
"Halo"
Bibirku berkerut menekan senyum yang sudah ingin merekah.
Satu kardus sudah suratmu datang, yang tak sempat kubalas. Hari Jumat aku menulis, huruf-huruf yang sama seperti yang kautulis.
Selama itu pula aku tak tahu bagaimana rona matamu.
Rembulan terlihat pucat malam itu. Lindap cahayanya menyembul dari arakan awan. Tak kusangka, aku menanti pesanmu. Menengadahkan wajah yang tergerus pilu. "Apa kau sedang sakit?" cemasku.
Aku menemukan bunga warna biru yang terselip di lubang jendelaku. Sebuah isyarat bahwa kau baik-baik saja. Aku tak tahu bunga jenis apa yang kau selipkan itu. Tak ada mawar seperti itu di bumiku.
Aku kembali ke perantauan. Kembali berkutat dengan buku-buku sebagai santapan. Makanan-makanan pokokku sebagai mahasiswa semester delapan. Waktu itu hari Kamis, dan relungku disambangi semberebat kerinduan.
Dengan jari mengimpit sebatang rokok, aku mencoba membinasakan sepi. Bercengkerama dengan surat-surat darimu yang hanya bisa aku resapi.
Aku dianggap sinting, tak waras, hilang akal. Menceritakan tentangmu kepada kawan-kawanku hanya mereka balas kekehan. Mereka menganggapku sedang berbual. Manusia tukang mengkhayal.
Kereta api telah membawaku kembali ke kampung halaman. Menanti jadwal sidang yang entah kapan. Rintik menjulur menerpa daun-daun menyambut kepulanganku.
Puluhan surat darimu berjejalan dan berjatuhan. Ada yang sempat kuselamatkan, namun banyak yang sudah tersapu hujan.
Pesanmu kini telah dapat kubaca, tak hanya kuterka.
"Aku Mencintaimu"
Tulismu. Degup jantungku menggila karena kata-katamu.
Kertas itu telah usang. Tinta yang kaupatrikan sedikit demi sedikit menghilang.
Pada surat-surat lain kauselipkan sebuah gambar. Tentang pohon tak berdaun, tentang laut dan ombaknya, tentang jutaan bintang yang dipeluk langit, dan tentang sosok yang membuatku tercenung.
Deruman itu berkumandang lagi. Jauh di dalam belantara, tapi aku tergugah untuk mendekati.
Sebuah benang tahu-tahu sudah bertengger di jendelaku. Mengantarkanku ke tempat di mana suara itu bermuara. Seketika aku membeku. Lidahku terasa kelu. Mataku membeliak.
Tubuhku ingin sekali roboh. Takzim dengan apa yang aku lihat. Sosok yang lebih tinggi dariku mengawai. Aku mengucek-ngucek mata beberapa kali namun sosoknya tetap tak enyah.
Sebuah benda raksasa dengan gagah berdiri di belakangnya. Yang semua orang koar-koarkan bahwa itu piring terbang namanya. Sorot lampunya redep-redup. Suara mesinnya sayup-sayup mati.
Sosok itu mendekat. Aku beringsut ingin lari. Sosok itu menganjurkan tangan. Telapak dinginnya kusambut kehangatan. Debaranku semakin cepat. Tubuhku berguncang hebat.
Aku tak dapat membaca raut wajahnya. Bola matanya besar nan bulat. Dengan berbinar, sepasang matanya menatapku.
"Siapa Kau"
Sebagai jawabannya, ia menggumamkan sesuatu yang tak dapat kuterjemahkan.
Ia memberiku secarik surat merah jambu. Lalu menjauh dan berjalan mundur. Semakin hilang dan mengabur. Sebelum pergi, ia melambaikan tangannya yang bertelapak lebar dan berjari-jari panjang.
Pelan kubuka surat itu. Tulisannya masih kaku dan rancu. Itu adalah surat darimu yang kautulis di atas kertas merah jambu. Tertuang sudah beberapa huruf merajut kalimat,
"Tuan, aku akan pergi. Selamanya"
Lamat-lamat kubaca, dengan sapuan cahaya yang membersil dari ponselku— yang sinarnya hampir sekarat.
Suara gemeresik dari dalam belantara terdengar. Derap-derap langkah yang semakin mendekat ke tempatku berpijak.
Di dalam tirai kegelapan, dinginnya malam yang membalut tubuh, kau untuk pertama kalinya menemuiku. Kau sibak alang-alang liar, kauterjang dedaunan hutan, dan kau tampak bersinar.
Kau tersenyum, bagai teratai yang merekahkan bidadari. Gaunmu menyapu kakiku. Tanganmu mendaki dan memelukku. Erat, hingga panas tubuhmu merambat ke nadiku. Berdesir menyatu.
Tubuh kita menghambur. Rindu telah melebur.
Kata-kata mengawang, tak terjamah. Berenang-renang di atas kepala kita. Kau seolah tak mau pergi dan melepas pelukanmu. Padahal kau tahu, kendaraanmu telah menantimu. Para anak buahmu telah menunggumu.
Wajahmu mendekat. Aku terkesiap. Lekat-lekat matamu menatap seluruh garis-garis wajahku. Membelai pipiku dengan buku jarimu. Kau cukup lama membisu. Alunan napasmu terus menyapu.
"Aku akan pergi," begitulah ucapmu.
Tanpa aba, kau mempersepi mulutku. Semakin dalam hingga kata-kata kembali tertelan. Jemarimu merengkuh jemariku. Hingga tak ada lagi hal lain selain terbakar.
Pelan-pelan kau melepas rengkuhanmu. Kau mundur selangkah demi selangkah. Senyum laksana bulan sabit kau sunggingkan. Sebagai senyum pertamamu dan terakhirmu yang tertangkap pandanganku.
Ujung gaunmu menjamah tanah, kau tak bilang apa-apa lagi selain "Tolong rawat aku dihatimu."
Tenggelam sudah napsu untuk bersama denganmu. Air mataku turun satu-satu menyambut kepergianmu. Kawanan kunang-kunang berhamburan, memercikkan pendar seolah mengawalmu.
Bermandikan sinar rembulan yang menggantung di atas sana. Dan kerlip intan yang berserakan di pelukan gulitanya, kau berjalan menjauh dan tertelan belantara. Menghilang dan lenyap.
Kendaraan yang membawamu untuk terakhir kalinya bergerung kembali. Pusaran angin yang ia buat membuatku terjerembap. Suara bisingnya memaksaku menyumpal kedua telingaku. Sekejap, piring terbang itu melesat dan minggat. Membentuk robekan kecil yang berpendar di langit malam.
Aku menyimpan surat-suratmu. Bunga biru pemberianmu. Pelukan hangatmu. Kecupanmu. Semuanya kutaruh di dalam memori jangka panjangku.
•••
Satu hari...
Aku merindukanmu.
Satu minggu...
Aku masih menanti pesan-pesanmu.
Satu bulan...
Aku berharap kau kembali pulang.
Satu tahun...
Pesan ini aku tinggalkan untukmu. Bahwa bertemu denganmu adalah sebuah anugerah.
Mataku menerawang. Menatap langit yang semakin muram. Bulan masih kuncup diantara gelombang-gelombang awan yang berjalan. Serbuk bintang terlukis sebagai penghias malam. Dari sudut ke sudut kuterka di mana tempatmu bersemayam.
Di bintang itu atau di bintang lain rumahmu. Di antara bimasakti atau andromeda singgasanamu.
Samar-samar kulihat satu bintang gugur. Ekornya mengembuskan api. Apakah kau akan datang hari ini?
//
Jakarta, 12 Februari 2023. | 03.15 WIB
(Ditulis atas permintaan seorang teman, setelah dia curhat / bercerita berturut-turut selama 3 hari.)
— Aip Orlandio