Puisi : Sonata Puisi Karya Hawa
"Sonata Puisi"
Di altar malam yang membisikkan bayang,
Sonata puisi lahir dari renjana sunyi,
Berpacu dengan detak detik yang tunda,
Melukis cahaya di kanvas angan-angan,
Menjelma melodi dari rima yang gugu,
Menghidupkan gema di lembah jiwa.
Kata-kata menari dalam simfoni kalbu,
Seperti dawai halus yang melengkung rindu,
Melahirkan nyanyian dari aksara luka,
Di mana metafora bertemu luka senja,
Menganyam rahasia di balik kelopak embun,
Hingga dunia larut dalam irama fana.
Pada bait-bait yang merangkai bulan,
Tersembunyi elegi langit tak bernama,
Di mana bintang terpenjara dalam diam,
Dan angin menghembuskan pesan purba,
Rima-rima yang gugur di tepi ilusi,
Menyulam keabadian dalam sekejap.
Sonata itu bersenandung di tebing sunyi,
Menyelam ke palung makna yang tak terucap,
Melintasi sungai-sungai takdir yang beku,
Di sana, metafora membangun jembatan,
Antara hampa dan penuh, antara tiada dan ada,
Menjadi nyawa bagi hati yang terasing.
Tiap kata adalah biola yang sendu,
Menelusuri nada di ufuk angkasa,
Bersuara lembut seperti hujan di kaca,
Membelah kabut yang menyelimut waktu,
Hingga cermin jiwa memantulkan cahaya,
Sebuah hikayat yang nyaris terlupa.
Majas-majas melukis panorama rasa,
Hiperbola yang menggulung badai rahasia,
Personifikasi jiwa yang merayu senyap,
Ironi luka yang mengecup bahagia,
Menghadirkan kontras yang tak terkatakan,
Dalam harmoni yang samar namun abadi.
Imaji itu terlukis di puncak purnama,
Seperti debur ombak pada dinding batu,
Lembut namun pasti menghancurkan sepi,
Mengusung makna dari relung nirwana,
Mengalir ke dalam hati yang kehilangan,
Dan membangun dunia dari reruntuhan asa.
Sonata puisi bukan hanya suara,
Ia adalah jiwa yang berdenyut perlahan,
Menghidupkan yang mati, menyentuh yang jauh,
Menyulam langit dengan tinta kata,
Hingga bait terakhir menjadi doa sunyi,
Yang terbang jauh, ke semesta yang bisu.
Di balik tiap nada yang mengalun pelan,
Tersembunyi rindu yang tak sempat pulang,
Menemukan rumah di palung aksara,
Menjadi gema di lorong jiwa rapuh,
Hingga aksen kata terukir abadi,
Pada langit senja yang berwarna pilu.
Sonata puisi, serupa doa yang terlupa,
Mencari makna di ladang hampa,
Menyemai harapan pada tanah bisu,
Memetik duka yang menjelma syahdu,
Dan menyandarkan jiwa di pundak metafora,
Di mana asa bersarang dalam bahasa.
Lihatlah, rima-rima itu membelah malam,
Menjadi serpihan cahaya di pekat gulita,
Melahirkan bintang yang mengantar pesan,
Untuk hati yang terpenjara waktu fana,
Menyelimuti hening dengan nyanyian jiwa,
Menyatukan luka dalam keindahan fana.
Ada semesta kecil di tiap baitnya,
Seperti cermin retak yang memantulkan mimpi,
Menghidupkan luka menjadi tawa bisu,
Menyulap gelap menjadi kabut berwarna,
Lalu mengalirkan rasa ke arteri langit,
Hingga sunyi tak lagi terasa sia-sia.
Sonata puisi, sebuah kitab tanpa akhir,
Tiap halamannya adalah debur waktu,
Yang menghapus batas antara kini dan nanti,
Menyatukan kenangan dengan kemungkinan,
Seperti ombak yang tak kenal lelah,
Ia terus bernyanyi, hingga dunia terdiam.
Sonata itu abadi dalam denyut kata,
Menyelinap lembut di balik kesadaran,
Mencumbu rahasia yang terlupakan alam,
Dan pada akhirnya, di tiap nafas terakhir,
Ia menjadi harmoni yang kita tinggalkan,
Sebagai warisan cinta yang tak berbatas.
____________________
Coretan Hawa