Cerpen : kehidupan ku yang rusak.

 ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Berhari-hari aku dan Dara hanya mengandalkan belas kasih dari orang-orang sekitar. Tidur beralaskan sajadah, makan dari sisa-sisa sedekah. Aku mencoba terlihat kuat di depan Dara, tapi kenyataannya, aku takut. Takut bagaimana jika dia sakit, bagaimana jika aku gagal melindunginya?  


Dara yang masih kecil tak mengerti betapa keras dunia ini. Dia hanya menurut saat aku menggenggam tangannya, membawanya ke mana pun aku pergi. Aku harus mencari uang, secepatnya.  


Awalnya aku hanya membantu orang-orang di sekitar masjid. Membersihkan halaman, mengangkat barang, apa pun yang bisa memberiku receh. Tapi itu tak cukup.  


Sampai akhirnya, seseorang menawarkanku "pekerjaan". Katanya, mudah dan cepat dapat uang. Aku ragu, tapi saat itu aku tak punya pilihan. Dara butuh makan. Aku butuh uang untuk berobatnya.  


Dan begitulah, dari seorang bocah polos yang tak tahu apa-apa, aku berubah. Aku mulai menyusuri jalan yang bahkan tak pernah kubayangkan sebelumnya.  


Namun, semakin jauh aku melangkah, semakin aku merasa kehilangan diriku sendiri. Aku bukan lagi anak yang dulu. Aku bukan lagi kakak yang bisa dibanggakan Dara. Tapi aku tak bisa berhenti sekarang. Tidak sampai Dara benar-benar sembuh.  


Tapi... apakah Dara akan bangga jika tahu aku melakukan semua ini? Atau justru dia akan membenciku?



Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa ini semua demi Dara. Demi kesehatannya, demi hidupnya, demi masa depannya. Tapi setiap kali aku menatap matanya yang polos, aku merasa seperti penipu.  


Dara selalu tersenyum setiap kali aku pulang membawa makanan. "Kakak kerja di mana?" tanyanya suatu malam, saat kami duduk di sudut masjid, menyantap nasi bungkus yang kubeli dari uang hasil pekerjaanku.  


Aku terdiam, menatap wajah kecilnya yang bersinar dalam redup lampu jalan. Aku ingin berkata jujur, tapi bagaimana bisa? Bagaimana aku bisa mengatakan bahwa aku sudah masuk ke dunia yang kotor?  


"Di tempat orang baik," jawabku akhirnya.  


Dara mengangguk, percaya sepenuhnya. Dia selalu percaya padaku. Itu yang membuatku semakin merasa bersalah.  


Hari demi hari berlalu, aku semakin dalam tenggelam. Malam-malamku kini dihabiskan di gang-gang gelap, di tempat-tempat yang seharusnya tidak pernah kuinjak. Aku belajar menipu, berbohong, dan melakukan hal-hal yang bahkan tak berani kusebutkan dalam doa. Semua itu untuk Dara. Hanya untuk Dara.  


Namun, sekeras apa pun aku mencoba, dunia ini selalu punya cara untuk mengingatkan bahwa dosa-dosa tak bisa selamanya disembunyikan.  


Suatu malam, saat aku pulang lebih larut dari biasanya, aku menemukan Dara duduk sendirian di depan masjid. Matanya sembab, wajahnya penuh ketakutan.  


"Ada apa, Dara?" tanyaku panik.  


Dia mengangkat wajahnya, menatapku dengan mata yang biasanya penuh kepercayaan, tapi malam itu berbeda. Ada sesuatu yang hancur di dalam dirinya.  


"Kakak… tadi ada orang yang bilang… Kakak kerja di tempat jahat, Kak… Itu benar?" suaranya gemetar.  


Jantungku berhenti sesaat. Seolah dunia di sekitarku runtuh.  


Aku ingin berbohong, ingin mengatakan bahwa itu tidak benar. Tapi bagaimana bisa? Dara berhak tahu.  


Aku menarik napas dalam, mencoba mengatur kata-kata, tapi sebelum aku sempat berbicara, Dara sudah lebih dulu menangis.  


"Aku nggak butuh uang dari pekerjaan itu, Kak… Aku cuma butuh Kakak…"  


Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, aku menangis di hadapan Dara.


Aku menangis tanpa suara, menahan isak yang rasanya menusuk dada. Aku ingin berkata bahwa aku melakukan semua ini demi dia, tapi untuk apa? Dara sudah memberitahuku apa yang benar-benar ia butuhkan—bukan uang, bukan makanan, bukan pengobatan. Ia hanya ingin aku tetap menjadi kakaknya, tetap menjadi seseorang yang bisa ia banggakan.  


Aku merengkuh tubuh kecilnya, memeluknya erat seakan takut ia akan hilang jika aku melepaskannya. Dara menangis dalam pelukanku, sementara aku hanya bisa membiarkan air mataku jatuh tanpa bisa berkata apa-apa.  


Saat itu juga, aku sadar—aku tidak bisa terus seperti ini.  


Keesokan harinya, aku mengambil keputusan. Aku pergi ke tempat di mana aku biasa bekerja, menemui orang-orang yang selama ini membayar uang untuk jasaku. Aku mengembalikan uang terakhir yang kuterima. Mereka tertawa, menganggap aku sudah gila. Tapi aku tidak peduli.  


"Ini bukan tempatku," kataku tegas sebelum pergi, tanpa menoleh lagi.  


Hari-hari setelahnya tidak mudah. Aku dan Dara kembali ke titik nol, kembali mengandalkan belas kasih, kembali tidur beralaskan dinginnya lantai masjid. Tapi kali ini, aku tidak takut. Karena aku tahu, aku sudah membuat keputusan yang benar.  


Aku mulai mencari pekerjaan yang jujur, sekecil apa pun. Aku bekerja di warung makan, mencuci piring dan menyapu lantai. Lelah? Tentu. Tapi kali ini, aku tidak perlu lagi menundukkan kepala di depan Dara.  


Bulan demi bulan berlalu, perlahan aku dan Dara mulai menata hidup kembali. Aku berhasil menyewa sebuah kamar kecil, tempat kami bisa berteduh tanpa harus tidur di teras masjid. Aku mendaftarkan Dara ke sekolah, melihatnya mengenakan seragam dengan senyuman yang membuatku hampir menangis.  


Aku masih belum tahu bagaimana masa depan kami. Tapi satu hal yang aku yakini—aku tidak akan pernah kembali ke jalan yang dulu.  


Dan saat suatu malam, Dara memelukku dan berbisik, "Kakak adalah orang paling baik yang aku kenal", aku tahu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku benar-benar merasa hidup.



𝟷𝟼, ғᴇʙ, 𝟸𝟶𝟸𝟻

~ᴀʙᴀᴅ.ɪ

Postingan populer dari blog ini

PUISI : ᴛᴀɴʏᴀ ᴄɪɴᴛᴀ

Puisi : Bekas Luka Trauma Karya Reza Fahlevi

Puisi : Bukan Aku Yang Kau Butuhkan Karya Awan Hitam