Puisi : Berdesakan Di Kepala Karya Aip Orlandio

 *BERDESAKAN DI KEPALA*

Karya: Aip Orlandio


Setiap malam. Setiap. Malam.


Segala rupa urusan datang tanpa aba-aba, berjubel di kepala seperti penumpang Commuter Line di jam sibuk—berdesakan, tanpa ruang bernapas.   


Gaji bulan ini? Menyusut lebih cepat dari niat menabung.  


Makan besok? Bukan soal kenyang, tapi soal bertahan.  


Lalu datanglah yang lebih berat: perkara keluarga yang lebih rumit dari benang kusut, pertanyaan soal jodoh yang lebih sering mampir daripada kepastian, bayangan rumah masa depan yang masih sebatas sketsa kabur, pekerjaan yang ingin kupilih tapi justru memilihku untuk ditolak.  


Semuanya. Semuanya.


Menumpuk di kepala seperti utang yang kupikir sementara, tapi ternyata betah menetap.  


Rasanya ingin kupecahkan saja—biar berhamburan di lantai, biar bisa kulihat satu-satu:  


"Oh, ini luka lama yang kukira sudah sembuh, ini cita-cita yang terbengkalai, ini beban yang katanya cuma lewat tapi malah menginap."


Setiap malam. Setiap. Malam.


Pikiran-pikiran itu antre seperti orang rebutan sembako, berebut jatah perhatian.  


“Aku lebih penting!” seru pekerjaan.   


“Tidak! Aku harus duluan!” bentak urusan rumah.   


“Tuan dan Puan! Aku sudah lama kau lupakan!” jerit angan-angan yang dulu kususun rapi, kini berdebu di pojok kepala. 


Aku ingin bilang: “Satu-satu, dong!” 


Tapi mereka tak peduli.  


Dan sialnya, besok pagi aku tetap harus bangun, pura-pura baik-baik saja, pura-pura masih waras.  


Di depan kaca, aku menatap wajah yang sama—mata yang menyimpan kantung beban, bibir yang lebih sering tersenyum dari yang seharusnya, pundak yang semakin lelah tapi tak pernah absen memikul segalanya.  


“Kamu baik-baik saja?” tanyaku pada bayangan sendiri.   


“Iya.” jawabnya, terlalu cepat untuk bisa dipercaya.  


Lalu aku menyeduh kopi, menatap layar ponsel, membuka pesan yang belum sempat kubalas.  


Di grup Whatsapp keluarga: “Jangan lupa transfer, ya.“ 


Di chat teman: “Bro, nongkronglah” 


Di reminder: “Deadline hari ini!” 




Aku menghela napas.  


Sungguh, hidup ini terasa seperti cicilan—tak pernah lunas, selalu ada yang harus dibayar.  


Tapi, seperti pagi-pagi sebelumnya, aku tetap berangkat.  


Menyeret langkah, menata ulang topeng, mengikat lagi harapan yang mulai kendur.  


Karena begitulah caranya: bertahan, bukan karena kuat, tapi karena tak ada pilihan lain.




Dan begitulah, roda berputar—bukan karena aku menginginkannya, tapi karena dunia tak peduli apakah aku siap atau tidak.  




Di perjalanan, aku melihat orang-orang dengan wajah serupa:  


mata lelah yang dipaksakan segar, raut lesu yang disamarkan ambisi, pundak yang tertunduk tapi tetap berjalan.  


Entah mereka juga pura-pura, atau benar-benar sudah kebal.  


Di kantor, laptop menyala, tugas menumpuk, bos menuntut.  


Di rumah, tagihan datang tepat waktu, tidak pernah lupa alamat.  


Di kepala, ribuan skenario bertabrakan:  


“Bagaimana kalau aku gagal?” 


“Bagaimana kalau aku berhenti?” 


“Bagaimana kalau...?” 


Ah, terlalu banyak bagaimana, tapi realitas hanya memberi satu jawaban: jalan terus.


Lalu malam tiba lagi. Setiap. Malam.


Dan siklus itu kembali dari awal.  


Kadang aku bertanya, kapan ada jeda?  


Tapi mungkin, jedanya bukan istirahat.  


Mungkin jedanya adalah aku, yang akhirnya tumbang.




Lalu mulailah bagian terburuknya: kepalaku tak pernah benar-benar diam.


Setelah segala tuntutan hari ini, aku masih harus menghadapi satu lawan terakhir—diriku sendiri.


Di ranjang, di bawah lampu kamar yang temaram, di tengah keheningan yang seharusnya menenangkan, pikiranku justru makin gaduh. 


Aku scroll media sosial—kesalahan fatal.   


Di sana, orang-orang seumuranku sudah melangkah jauh:  


Ada yang menikah, ada yang kerja di perusahaan besar, ada yang liburan ke luar negeri, ada yang beli rumah.  


Sementara aku? Masih sibuk bertanya-tanya kenapa aku tertinggal.  


Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.  


“Tidak apa-apa, hidup bukan lomba,” kataku. Tapi rasanya tetap sesak.  


Lalu aku berpikir lebih jauh: 


”Apa yang sebenarnya salah?” 


”Apa yang sebenarnya salah?”


”Apa aku kurang pintar?”


”Apa Kurang kerja keras?”


Sial. Aku terlalu lelah untuk menjawabnya.  


Dan yang lebih sial lagi, besok pagi aku tetap harus bangun.  


Tetap harus menjalani hari seolah-olah semua ini baik-baik saja.




Aku menarik napas, dalam-dalam.  


Di dada, segala sesak mengendap seperti udara di ruangan tanpa jendela.  


Aku ingin menyerah, tapi kepada siapa?  


Aku ingin mengeluh, tapi apa gunanya?  


Lalu, di tengah kebisingan yang hanya ada di kepalaku sendiri, aku mendengar suara lirih di hati:  


“Bukankah selama ini kau tetap bertahan?” 


“Bukankah sudah sejauh ini kau berjalan?” 


“Bukankah ada yang menggenggammu, meski kau sering lupa?” 


Aku terdiam.  


Mungkin aku terlalu sibuk meratap sampai lupa bahwa langit tidak pernah benar-benar kosong.  


Mungkin aku terlalu sibuk menghitung kekurangan sampai lupa bahwa rezeki, napas, dan langkah hari ini pun adalah hadiah yang tak pernah kutebus dengan apapun.  


Aku menutup mata, membiarkan kepala yang berisik itu mereda sejenak.  


Lalu kubisikkan doa, pelan—tanpa banyak kata, tanpa permintaan muluk.  


“Ya Rabb, kuatkan aku. Jika bebanku tak bisa berkurang, maka tambahkanlah pundakku agar mampu menanggungnya.”


Aku tidak tahu apa besok akan lebih baik.  


Tapi untuk saat ini, aku cukup percaya bahwa aku tidak berjalan sendirian.


Aku menarik napas sekali lagi. Kali ini lebih pelan, lebih dalam. Entah kenapa rasanya sedikit lebih ringan, atau mungkin aku hanya terbiasa menipu diri sendiri. Kulayangkan pandangan ke langit-langit kamar—kosong, seperti otakku yang kini lelah berpikir.  


Besok pagi, aku akan bangun lagi. Akan mengulang rutinitas yang sama, berpura-pura baik-baik saja, tersenyum kepada dunia yang tak peduli apakah senyum itu tulus atau hanya kamuflase.  


Tapi kali ini, aku tidak akan terlalu keras pada diri sendiri. Tidak akan lagi membandingkan langkahku dengan mereka yang berlari lebih dulu. Tidak akan lagi merasa rendah hanya karena hidupku belum sesuai ekspektasi.  


Aku sadar, aku memang belum sampai. Tapi aku juga belum menyerah. Maka untuk malam ini, aku akan tidur, tanpa terlalu banyak cemas.  


Dan besok, entah bagaimana caranya, aku akan bangun dan mencoba lagi.

Postingan populer dari blog ini

PUISI : ᴛᴀɴʏᴀ ᴄɪɴᴛᴀ

Puisi : Bekas Luka Trauma Karya Reza Fahlevi

Puisi : Bukan Aku Yang Kau Butuhkan Karya Awan Hitam