Puisi : Biografi Tubuh Ibu karya : aip orlandio
*BIOGRAFI TUBUH IBU*
Karya: Aip Orlandio
_Kata pertama yang ditulis ibu adalah namaku, di perutnya, sebelum ia bisa mengeja sakit._
Ibu, tubuhnya sebuah negeri—
Di dahinya: jalan-jalan retak yang ia tempuh setiap subuh
Di tangannya: sungai-sungai kecil yang mengering di musim susah
Di kakinya: luka-luka yang ditinggalkan jarak
Di punggungnya: gunung yang menanggung hari-hari
Ibu, tubuhnya sebuah rumah,
atapnya rapuh,
tiangnya bengkok,
tapi dindingnya selalu terbuka.
_Kata pertama yang kulis adalah tangis, di tubuhnya, sebelum aku bisa mengeja dunia._
Ibu, tubuhnya sebuah pagi—
Ia merebus matahari di dapur yang sempit,
menuangnya ke dalam cangkir,
memaksaku meneguknya sebelum aku sempat bertanya:
“Kenapa pagi selalu pahit?”
Di perutnya: bunyi panci berdenting dengan nasib
Di dadanya: kabut yang menolak pergi
Di matanya: kalender yang tak bisa ia baca
_ia lupa tanggal lahirnya sendiri, tapi ingat kapan aku terakhir kali pulang._
Ibu, tubuhnya sebuah peperangan—
Ia menakar sisa-sisa gaji ayah seperti menghitung tentara yang belum gugur,
ia menjahit kaus kaki bolong dengan benang yang hampir habis,
ia tidur di ruang tamu karena kasur sudah penuh oleh anak-anak.
“Aku tak lelah,” katanya,
tapi dinding kamar menangis setiap malam.
Di tangannya: pisau dapur yang tak pernah istirahat
Di kakinya: lantai dapur yang menolak bersih
Di dadanya: napas panjang yang berulang-ulang
_seolah kelelahan bisa dihapus dengan satu embusan._
Ibu, tubuhnya sebuah luka—
Ia tersenyum di antara belanjaan yang tak cukup,
tertawa di antara utang yang tak selesai,
berdiri di antara dua kemungkinan:
mati atau terus berjalan.
Ia berjalan.
Di punggungnya: gendongan yang tak pernah lepas
Di lengannya: bekas gigiku waktu kecil
Di pergelangan tangannya: garis-garis biru yang tak pernah dikisahkan
Ibu, tubuhnya sebuah puisi—
Bahkan saat dunia kehabisan kata,
ia tetap menyusun bait-baitnya sendiri,
di sela-sela doa yang ia bisikkan ke dalam bantal,
di sela-sela nasi yang ia suapkan ke mulutku,
di sela-sela tangannya yang merapikan rambutku sebelum aku berangkat kerja.
“Tidurlah,” katanya,
tapi matanya tetap terbuka.
_Kata terakhir yang ia tulis adalah namaku, di doanya, sebelum ia bisa mengeja selamat tinggal._