Puisi : Rumah Yang Hanya Dikepala Karya Aip Orlandio

 *RUMAH YANG HANYA ADA DIKEPALA*

Karya: Aip Orlandio


Apa yang lebih ramai dari isi kepala lelaki? 


Ia berjalan di trotoar yang bising, di sela gedung-gedung yang tak pernah mengingat namanya. Di kantongnya ada sisa gaji, di bahunya ada beban yang tak bisa ia hitung, di dadanya ada pertempuran yang tak bisa ia ceritakan. Dan lelaki, adalah musim hujan yang selalu datang sendirian, membasahi tanah yang tak pernah memintanya, menyuburkan luka yang ia ingin lupakan. Ia lelaki—mencari tempat istirahat di dunia yang tak memberinya sandaran, memanggul nama keluarga di punggungnya, menjejalkan mimpi-mimpi ke dalam lemari sempit, memilih diam agar tak ada yang tahu betapa ribut isi kepalanya. Ia tahu, dunia tak memberi jeda, dan lelaki tak diajarkan cara meminta waktu untuk bernapas. Maka ia berjalan, dengan kaki yang ia paksa kuat, dengan hati yang sudah lama kelelahan. Namun di suatu malam di bawah lampu jalan yang enggan redam, ia melihat bayangannya sendiri. Dan ia bertanya, “sampai kapan?”.


Sebab lelaki juga butuh pulang, meski ia tak tahu lagi ke mana. Namun lelaki, tak pernah benar-benar bisa pulang. Rumahnya adalah tempat ia berdiri, meski lantainya retak, meski atapnya bocor, meski dindingnya hanya bayangan dari harapan yang pernah ia bangun. Lelaki tak bertanya kapan hujan reda, ia hanya menarik kerah jaketnya, menunduk, dan terus berjalan. Ia tak menunggu dunia menjadi lebih lunak, sebab ia tahu, dunia hanya tahu cara menekan, menumpuk beban, mengajarkan tabah dengan cara paling kejam. Dan lelaki, terus menggenggam gengsi di satu tangan, dan kecemaan di tangan lainnya. Ia ingin menangis, tapi air matanya terlalu mahal untuk dihamburkan.  


Ia ingin berhenti, tapi siapa yang akan menjaga semuanya jika ia menyerah? Maka ia merapal doa dalam diam, di sela detak jam yang tak peduli. Ia menatap jauh ke depan, ke masa depan yang masih buram, ke langit yang tak selalu menjanjikan terang. Tapi ia tetap melangkah, meski punggungnya pegal oleh beban, meski kakinya gemetar oleh jarak. Karena lelaki tak diajarkan cara istirahat, hanya cara bertahan, sampai entah kapan.

Postingan populer dari blog ini

PUISI : ᴛᴀɴʏᴀ ᴄɪɴᴛᴀ

Puisi : Bekas Luka Trauma Karya Reza Fahlevi

Puisi : Bukan Aku Yang Kau Butuhkan Karya Awan Hitam